Selasa, 28 Juni 2011

LARANGAN TERHADAP BAARANG YANG DIHARAMKAN

Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jassa yang diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah, yaitu keharusan menghindar dari kemudaratan. Al Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu barang atau jasa , menyatakan secara ekslisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk dimakan, diminum maupun dipakai oleh seorang muslim. Diantaranya adalah meminum khamar (minuman keras) dan menggunakan bangkai, atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al Qur'an dan Sunah nabi Muhammad SAW juga secara ekslisit melarang dilakukannya berbagai jenis atau tindakan antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain dan sebagainga.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang atau jasa yang secara eksplisit dilarang Al Qur'an dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama dengan zat yang diharamkan dalam Al Qur'an dan Sunah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oelh Majelis Ulama Indonesia. Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk selalu memastikan kehalalan jenis usaha yang di8bantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang diharamkan.