Jumat, 02 Juli 2010

MENCIPTAKAN MORALITAS PEMBANGUNAN

Manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Dalam bahasa teologi Mu’tazilah, kemampuan tersebut diimplikasikan dalam bentuk kehendak bebas yang dimiliki manusia. Kehendak bebas inilah yang membawa manusia pada posisi sebagai makhluk yang dapat bebas berekspresi dan berinovasi membangun satu hayalan menjadi satu hal yang nyata. Di sinilah letak kekuatan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya.

Keinginan yang begitu banyak memungkinkan manusia untuk mengaktifkan kehendak bebas. Pada tataran awal, kehendak bebas itu menempatkan dirinya pada posisi pelepasan terhadap nilai-nilai, baik itu dalam bentuk nilai moral ataupun nilai etika. Manusia pada tahap ini dapat berbuat dengan seenaknya sendiri, tanpa ada landasan moral. Pada akhirnya, dengan landasan berbuat seperti itu, terciptalah satu struktur masyarakat yang bebas moral. Di sini manusia dapat membuat nuklir untuk berperang, saling membunuh dan menumpahkan darah. Dan lain sebagainya dari berbagai aspek negatif yang ditimbulkan oleh kehendak bebas itu.

Pada kondisi seperti ini, manusia telah jauh melenceng dari tugas awal yang telah digariskan oleh Penciptanya, sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai tugas utama memakmurkan kehidupan di bumi dengan kebahagiaan dan ketenangan. Bukan sebaliknya, seperti yang pernah dikhawatirkan oleh malaikat tetkala berdialog dengan Allah Swt dalam memprediksikan makhluk yang diberi nama “manusia” untuk mengemban tugas berat di muka bumi sebagai penghancur, pembuat onar, penumpah darah dan seluruh aktifitas yang mensubordinasikan nilai-nilai moral.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya mengembalikan posisi moral pada diri manusia yang hilang tersebut, sehingga ia dapat menciptakan satu moralitas dalam kehidupannya, yang akhirnya dapat memulihkan kedudukannya betul-betul sebagai wakil Allah Swt di bumi, dan diakui oleh sesamanya ataupun makhluk lainnya sehingga ia tidak menjadi bahan cemoohan/ejekan makhluk-makhluk lainnya yang memang dasarnya meragukan kemampuan manusia sebagai “khalifah” Allah Swt di permukaan bumi.

Sebagai seorang filosof, Kant menawarkan obat sebagai penawarnya dalam bentuk “teori kehendak bebas transenden”. Lebih jauh Kant menjelaskan manusia memang harus mengoptimalkan kehendak bebas yang dimilikinya sebagai manifestasi dari kodrat manusia itu sendiri, dengan kekuatan akal yang dianugerahkan kepadanya dalam wujud aktifitas, ekspresi yang mempunyai dimensi transenden. Dimensi transenden inilah yang dalam bahasa sehari-hari dapat diartikan sebagai penguatan peran moral dalam diri manusia.

Dalam makalah ini akan diketengahkan kajian tentang menciptakan moralitas pembangun-an dalam studi pendekatan epistemologi ekonomi Islami

Moral dan Etika
Kata moral mempunyai makna yang sepadan dengan kata etika. Seperti dijelaskan Harold H. Titus term moral dan etika itu maknanya adalah saling berhubungan. Yang pertama berasal dari bahasa Latin moralis, sedang yang kedua berasal dari bahasa Yunani, ethos. Keduanya dapat diartikan dengan; adat-istiadat tata cara atau jalan hidup (way of life). Kedua kata ini biasanya digunakan dengan makna sinonim. Akan tetapi, dewasa ini penggunaan kedua kata tersebut menunjukkan pengkhususan: Moralitas digunakan untuk menunjukkan tingkah laku/perilaku tertentu “it self”. Sementara itu, etika dipakai untuk menunjukkan proses belajar mengenai tingkah laku/perilaku moral.

Sementara itu, K. Bertens merujuk makna bentuk jamak dari etika: ta etha mendefinisikan etika sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun demikian K. Bertens menambahkan bahwa etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima suatu masyarakat -seringkali tanpa disadari- menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika sebagai ilmu ini menurut K. Bertens sama artinya dengan filsafat moral.

Filsafat moral di sini diartikan dengan penilaian tentang sesuatu entag baik ataupun buruknya. Penilaian ini disebut moralitas. Moralitas berdasarkan konteks filsafat moral ini mengambil bentuk pengertian tentang baik dan buruk yang merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat di mana-mana dan segala zaman. Dengan kata lain, moralitas itu (kata K. Bertens) adalah fenomena manusiawi yang universal. Dalam konteks filsafat morat ini pula, K. Bertens memaknakan etika sebagai ilmu tentang moralitas, yakni tingkah laku moral.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kedua istilah di atas sebagai berikut: (a) etik: (i) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (ii) nilai mengenal baik dan buruk yang dianut suatu golongan atau masyarakat; (b) etika: (i) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (c) etiket: (i) carik kertas yang ditempatkan pada kemasan barang (dagangan) yang memuat keterangan mengenai barang tersebut. (ii) tata cara (adat sopan santun dan sebagainya) dalam masyarakat yang beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesamanya.
Moral: (i) (ajaran tentang) baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. (ii) kondisi mental yang membuat tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. (iii) Isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Moralitas: Segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat, sopan santun.

Todays English Dictionary mengambil makna sebagai berikut: Ethic (s):(i) Keyakinan moral mengenai benar dan salah; (ii) Muatan-muatan filosofis yang terdiri dari beberapa persoalan moral. Ethica: (i) Digunakan untuk membicarakan tentang sesuatu yang dikerjakan dengan cara mempertanyakan mengenai benar atau salahnya. (ii) Sikap untuk menerima prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar. Moral: Digunakan untuk menyata-kan sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang benar. Morality: Keyakinan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, sedangkan tindakan yang lain adalah salah.
Melihat definisi dari dua kamus di atas dapat disebutkan bahwa etika dan moral berkaitan dengan kelakuan, tindakan, dan perbuatan yang didasarkan pada norma, asas, dan nilai baik-buruk yang diyakini oleh suatu masyarakat tertentu. Perbuatan, tindakan, dan tingkah laku itu lalu berada dalam penilaian etis dan moral.

Dalam melakukan perbuatan, seseorang didasarkan pada keinginannya. Keinginannya ini adalah kebebasannya, apakah ia akan berlaku baik atau pun buruk. Oleh karena itu, dalam kamus di atas disebutkan bahwa etika berkaitan dengan hak dan kewajiban moral; moral berhubungan dengan ajaran baik-buruk, kondisi mental untuk tetap berbuat baik, dan keinginan hati nurani.

Etika dan moral berkaitan dengan hukum baik-buruk, dan oleh karena itu keduanya tidak netral. Istilah etika dan moral dalam konteks ini mempunyai makna hukum baik dari perbuatan. Maka orang yang berkelakuan buruk itu disebut tidak bermoral, atau telah keluar dari jalur yang telah digariskan oleh etika.

Pembangunan
Pemaknaan kata pembangunan tidak akan terlepas dari suatu proses; proses dalam wujud membangun dan berbuat untuk lebih meningkat dan maju, baik secara fisik ataupun non fisik. Dalam beberapa hal “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan (baca: pertumbuhan ekonomi) hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karenanya Myrdal (1968) misalnya mengartian pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change) terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Kondisi ini dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya tercatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembanguann yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).

Demikian beragamnya makna pembangunan yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan studi empiris yang mereka lakukan. Boleh dikata hampir setiap orang yang peduli dengan pembangunan sebagai tujuan yang diinginkan bagi negara dan penduduk di negara dunia ketiga. Namun begitu banyak interpretasi mengenai makna pembangunan, sehingga orang kadang bertanya-tanya apakah pembangunan hanya tidak lebih merupakan pandangan utopia setiap orang?
Sejarah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antri paradigma lain, seperti; wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/spasial, pembangunan masyarakat, dan pembangunan dalam bingkai ekonomi islami.

Kendati demikian, banyak yang memandang paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada tataran normatif. Artinya konstribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual (dassein; what to be) namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan (das sollen; what ought to be), Atau alternatifnya kita mau tidak mau harus mengkombinasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijaksanaan. Nampaknya tidak salah apabila dismpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multi dimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi, namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan.

Menciptakan Moralitas Pembangunan
Pada bagian ini, ada satu tuntutan penggabungan antara dua aspek yang berbeda; moralitas dan pembangunan. Jika kedua aspek tersebut menyatu dalam kerangka satu pemikiran, akan mempunyai arti adanya keterikatan aspek-aspek pembangunan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh moral. Dengan kata lain, pengayaan adanya pembangunan yang berwawasan moral adalah satu keharusan dan tidak dapat dipungkiri adanya. Sekarang yang jadi masalah adalah bagaimana kita, sebagai manusia yang berperan sebagai pelaku pembangunan dapat menciptakan satu moralitas dalam membangun ?
Beberapa konsep dapat diungkapkan dalam kajian kali ini. Seorang filosof, semisal Kant, mungkin menjawabnya dengan teori “kebebasan kehendak transenden”. Dalam hal ini, pelaku pembangunan mempunyai kesempatan yang luas untuk berkarya dan berinovasi dalam membangun sesuai dengan iradah (kehendak) yang dimiliki manusia. Walaupun begitu, dalam prakteknyadia harus selalu menyandarkan pada nilai-nilai transenden yang suci dan murni dalam bentuk moralitas. Sehingga dalam kesempatan akhir akan didapati satu kondisi yang terlepas dari berfikir pemisahan nilai-nilai moral dan aspek-aspek pembangunan.

“Obat penawar” yang diajukan oleh golongan filosof itu mungkin dapat digunakan, tapi kurang efektif. Hal ini dikarenakan konsep yang ditawarkan masih sangat subyektif-abstraktif. Teori “kebebasan kehendak transenden”, tidaklah dapat memberikan jaminan kejelasan terciptanya moraliats pembangunan. Pada tingkat pelaksanaanya dimungkinkan hanya dapat dilaksanakan oleh beberap gelintir manusia, yang memang dasarnya ia berpegang dengan nurani serta kesucian jiwa yang dimilikinya. Masalahnya yang lain, teori tersebut tidak mempunyai nilai hukum yang bersifat imperatif dan mengikat. Oleh karenanya, pada tataran berikutnya diperlukan adanya aturan hukum yang betul-betul mengikat pada semua pihak yang terlibat pada proses membangun untuk selalu mengacu pad nilai-nilai moral dalam pembangunan.

Dalam wacana ke-Indonesia-an, sikap nasionalisme dalam bentuk penundukka pada asas bangsa yaitu Pancasila, dapat memaksimalkan terwujudnya moralitas pembangunan. Tetapi masih ada kekuarnganya. Pancasila itu sendiri adalah Pancasila yang hanya sekedar mengandung nilai-nilai etika luhur dengan kekosongan daya “tuntutan hukum” bagi pelanggaran nilai-nilai moral. Secara aplikatif sangat diperlukan satu aturan hukum baku yang memuat juga adnya hukuman bagi penyelewengan moral.

Dari sinilah akan dihasilkan “konsensus bersama” untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dalam segenap aspek pembangunan. Kalau hal ini terwujud, paling tidak slogan yang menyatakan adanya pembangunan yang berwawasan humanisme telah termanifestasi-kan dalam pengkristalan nilai-nilai moral yang mewarnai pembangunan. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq

Oleh: AM Hasan Ali, MA

Ditulis dalam Umum | Tag: Add new tag, Ekonomi Islam, ekonomi syariah, Moralitas, Pancasila, Pembangunan

0 komentar:

Posting Komentar