Jumat, 22 Oktober 2010

CICILAN kREDIT ALA ISLAM DENGAN MURABAHAH

April 5, 2007 —

Dalam sistem ekonomi, perdagangan, dan perbankan di dunia Islam, dikenal beberapa metode yang halal dalam bertransaksi secara syariah. Metode metode tersebut di antaranya:

1. Jual beli secara cash; yang ini jelas sekali akad dan aturannya, ada uang ada barang. Hanya saja ada rukun2 yang harus diikuti, selengkapnya bisa dibaca di Jual Beli dalam Islam (yang Boleh dan yang Terlarang).
2. Permodalan / pembiayaan usaha (dengan Mudarabah atau Musharakah); Ini salah satu model pembiayaan yang disarankan. Berbeda dengan model kredit bank konvensional yang menggunakan sistem bunga (yang jelas-jelas riba), kredit yang ditawarkan disini menggunakan cara sharing profit / bagi hasil melalui nisbah yang ditentukan dalam akadnya. Info selengkapnya ada di Musharakah & Mudarabah By Maulana Taqi Usmani atau MUSHARAKAH AND MUDARABAH AS MODES OF FINANCING .
3. Cicilan kredit (Murabahah);

Khusus untuk item terakhir ini, perlu dijelaskan dalam akadnya. Akad Murabahah ini mirip dengan akad dalam jual beli. Jadi ada proses transaksi pertukaran barang dengan uang, dimana pembayarannya dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu dengan besaran total pembayaran yang tetap. Dalam perjanjiannya pun diperkenankan adanya biaya administrasi, bonus ataupun sanksi.
Mengenai bonus dan sanksi ini tidak bisa disamakan dengan bunga. Bunga dalam kredit konvensional merupakan pertambahan nilai dari nilai pokok pinjaman, dan hal ini jelas – jelas riba dan diharamkan. Sedangkan sanksi disini lebih ditekankan pada sanksi berupa denda misalnya keterlambatan pembayaran, sehingga dengan adanya sanksi ini, debitor akan berusaha menepati janji pembayarannya. Begitu pula bonus keringanan pembayaran hutang apabila melunasi sebelum jangka waktu pelunasan. Semua itu harus dijelaskan dengan gamblang pada saat perjanjian / akad antara kedua belah pihak.

Contoh murabahah ini misalnya si A membeli barang seharga 500 ribu rupiah, dan A menjualnya ke orang B dengan harga 600 ribu rupiah. Ingat, hal ini (markup) sah2 saja dalam dunia perdagangan / transaksi jual beli, namanya juga orang dagang, pasti kan cari untung. Di dalam akadnya, B berjanji akan membayar 600 ribu rupiah dalam 10 kali cicilan dalam kurun waktu 10 bulan, jadi setiap bulannya B akan membayar A sebesar 60 ribu rupiah. A juga menyetujui perjanjian ini. Maka jadilah akad murabahah ini.

Contoh lain misalnya berupa KPR, lebih tepatnya KPR syariah. Bank penyedia KPR membeli rumah dari developer dengan harga terntentu, misalnya 150 juta rupiah. Kemudian Bank tersebut menjual kepada pembeli dengan harga 240 juta rupiah, dicicil selama 10 tahun, sehingga pembeli membayar sejumlah 2 juta tiap bulannya selama 10 tahun.
Berbeda dengan praktek KPR konvensional saat ini, dimana bank akan menetapkan cicilan pada satu tahun pertama dengan nilai tetap, sedangkan di tahun berikutnya akan berubah sesuai dengan kondisi keuangan / fluktuasi di tahun tersebut. Ada pertambahan nilai yang didasarkan pada bunga, alias riba.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa di dalam Islam ada sistem pembayaran dengan cara dicicil / kredit yaitu Murabahah, dimana akad yang ada di dalamnya mirip dengan akad jual beli.
by : Maulana Taqi Usmani
Posted in economy. 8 Comments »

Jumat, 02 Juli 2010

HUKUM JUAL BELI BARANG BLACK MARKET

Transaksi jual-beli barang black market (BM) mempunyai dampak negatif pada kondisi perekonomian pada suatu wilayah (negara). Hal ini dikarenakan, disamping barang BM tersebut masuk ke suatu wilayah tanpa terkena pajak (tax), barang BM juga termasuk kategori gharar, tidak jelas asal usulnya.

Dalam perspektif hukum Islam, praktek transaksi jual-beli termasuk sesuatu yang dibolehkan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275. “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Ayat ini sesuangguhnya masih bersifat umum. Karena tidak semua model transaksi jual-beli yang dihalalkan dalam syariah Islam. Sehingga ada beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang men-takhsish ayat tersebut. Ditemukan beberapa hadits Nabi yang menjelaskan transaksi jual-beli yang masuk dalam kategori dilarang untuk dipraktekkan.

Beberapa transaksi jual-beli yang dilarang dalam Islam, diantaranya adalah ba’i al-gharar (jual-beli yang mengandung unsur ketidakjelasan (jahalah)), ba’i al-ma’dum (transaksi jual-beli yang obyek barangnya tidak ada), ba’i an-najash (jual-beli yang ada unsur penipuan), talaqi rukban (transaksi jual-beli yang menciptakan tidak lengkapnya informasi di pasar, karena penjualnya dihadang di tengah jalan), transaksi jual-beli pada obyek barang yang diharamkan, dll.

Adapun praktek transaksi jual-beli barang BM termasuk dalam transaksi yang dilarang, karena beberapa sebab, di antaranya adalah: Pertama, transaksi BM merupakan bentuk transaksi yang ilegal. Mengapa ilegal? Karena barang BM adalah barang yang statusnya tidak diakui di pasar. Karena masuknya ke pasar melalui selundupan, agar tidak kena bea cukai.

Kedua, transaksi jual-beli BM akan mengganggu keseimbangan pasar. Dalam hal ini, barang-barang BM yang telah beredar di pasar akan mempengaruhi harga barang sejenis yang dijual secara legal. Biasanya, barang yang berstatus BM akan dijual lebih murah, dibanding dengan barang yang memang statusnya diperoleh secara legal.

Rasulullah Saw melarang bentuk transaksi yang berakibat pada terganggunya mekanisme pasar. Dari sisi penawaran (supply), kondisi harga pasar akan terganggu. Hal ini sama dengan model transaksi talaqi rukban yang dilarang untuk dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Karena efeknya sama-sama mempengaruhi mekanisme pasar.

Ketiga, ajaran Islam memberikan panduan bagi umatnya untuk menggunakan barang atau produk yang halal. Produk BM termasuk dalam kategori produk yang tidak jelas (gharar) asal usulnya. Bisa jadi, produk BM berasal dari praktek yang dilarang dalam Islam, seperti hasil pencurian atau penipuan dll.

Dalam hal ini, produk BM bisa kita kategorikan dalam transaksi yang gharar (tidak jelas) yang prakteknya dilarang dalam ajaran Islam. Demikian penjelasan yang dapat pengasuh sampaikan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan kita tentang ekonomi syariah. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq. [hsn]

Ditulis dalam Interaktif | Tag: Black Market, Talaqi Rukban

PROMOSI ATAU DAKWAH EKONOMI SYARIAH

Sangat menarik membaca artikelnya Akhsin Muamar yang berjudul Marketing Dakwah Ekonomi Syariah di koran Republika, 01/09. Akhsin bicara tentang realita yang kini terjadi di industri perbankan dan keuangan syariah di Indonesia. Realita itu diantaranya berupa ketidakmampuan industri perbankan syariah untuk mengejar target 5% yang selama ini dipatok sendiri sampai dengan akhir 2008.

Kalau dicermati, penyebabnya terletak pada model pendekatan yang digunakannya terlalu berat berorientasi kepada iklan dan brand. Selama ini, industri perbankan dan keuangan syariah mengikuti ‘irama’ yang dilantunkan oleh industri perbankan dan keuangan konvensional dengan memilih promosi sebagai media untuk mengejar target tersebut. Sehingga tidaklah salah, jika saat ini masih ada masyarakat yang mengesankan sama antara apa yang dilakukan oleh bank syariah dengan bank konvensional. Ke depan, dengan semakin kuatnya posisi industri perbankan syariah pasca disahkannya UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dituntut untuk menampilkan karakternya sendiri sebagai bank syariah.

Seharusnya bank syariah mempunyai ‘warna’ dan karakter tersendiri dalam segala hal, sebagai diferensiasi dengan bank konvensional. Selama ini, bank syariah masih sering ‘melirik’ saudara tuanya, bank konvensional, yang nota-benenya terlahir lebih dahulu di tengah-tengah sistem perbankan nasional dalam menjalani operasionalnya. Termasuk menggunakan instrumen promosi dalam mengejar target.

Bagi perbankan konvensional, promosi yang dilakukannya tidak lebih hanya sekedar untuk pencapaian jangka pendek, yakni bersifat materialistis. Promosi bagi bank kovensional tidak lebih dari sekedar jualan produk. Kalau bank syariah berperilaku seperti bank konvensional dengan menempatkan promosi sebagai bentuk jualan produk, berarti bank syariah hanya berorientasi jangka pendek. Dalam hal ini, secara tidak langsung bank syariah telah menafikan pemahaman adanya proses jangka panjang yang berorientasi untuk menggapai maslahah, sakinah, dan falah.

Pilihan promosi sebagai cara untuk mengejar target, bukanlah tanpa risiko. Bagi industri perbankan syariah, saat ini untuk melakukan kegiatan promosi, realitanya masih kalah jauh dibanding dengan upaya promosi yang dilakukan oleh industri perbankan konvensional. Sudah biaya iklan sangat mahal, namun hasilnya bisa jadi masih kurang memuaskan. Hal ini terlihat dari beberapa promosi bank syariah di TV yang menghabiskan milyaran rupiah atau bisa terlihat melalui promosi dalam bentuk pameran (festival) yang nilai edukasinya masih terasa kurang.

Di sisi lain, dalam pandangan Akhsin, masih ada masalah di pangsa pasar kelas menengah ke atas yang cenderung tidak loyalis dengan bank syariah. Bagi kelas ini, bank syariah masih dianggap ribet, dan tidak user friendly. Persepsi seperti ini kalau tetap dibiarkan akan menjadi penghalang bagi promosi yang dijalankan oleh industri perbankan syariah. Bahkan, bisa jadi promosi tersebut akan sia-sia saja dan merugikan bagi industri perbankan dan keuangan syariah, karena tidak mendapat respon baik oleh market.

Sesungguhnya industri perbankan dan keuangan syariah dapat menggunakan metode yang ditawarkan oleh Akhsin yang selama ini juga dilakukan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), yakni dengan menggunakan pendekatan dakwah. Ya, dakwah ekonomi syariah. Dengan mengambil motto “Dakwah Ekonomi Syariah Untuk Jangka Panjang Yang Tidak Mengenal Lelah”, PKES mengedukasi masyarakat mengenai ekonomi syariah melalui buku-buku yang diterbitkan. Di antara buku yang diterbitkan oleh PKES ada buku Khutbah Jum’at Ekonomi Syariah dan buku Materi Dakwah Ekonomi Syariah yang dapat dijadikan panduan bagi para da’i-da’iah ataupun muballigh-muballighat untuk mendakwahkan ekonomi syariah ke masyarakat. Selama ini, isi khutbah jum’at dan dakwah di majelis-majelis ta’lim lebih banyak menjelaskan masalah-masalah ibadah dan aqidah. Dengan adanya kedua buku tersebut dapat mencerahkan masyarakat mengenai ekonomi syariah.

Promosi yang masih identik dengan jualan produk bagi industri keuangan dan perbankan syariah sudah harus dikurangi porsinya, untuk digantikan dengan kegiatan yang berorientasi pada edukasi (baca: dakwah) ekonomi syariah ke masyarakat. Realita yang terjadi di masyarakat saat ini masih banyak yang belum mengerti tentang ekonomi syariah, baik dari sisi konsep ataupun aplikasinya dalam bentuk lembaga keuangan syariah. Oleh karena itu, diperlukan gerakan yang dapat membuat gelombang besar dakwah ekonomi syariah di tengah-tengah masyarakat.

Ibaratnya, masyarakat kita masih perlu diajari bagaimana manfaat menggunakan ‘helm’ yang baik untuk keamanan berkendara. Setelah mereka faham cara memakai helm, nantinya terserah mereka mau membeli helm dimana. Begitu pula dengan kondisi masyarakat yang menjadi pangsa pasar industri perbankan dan keuangan syariah yang masih banyak belum faham ekonomi syariah. Nantinya setelah masyarakat sudah melek ekonomi syariah, terserah mereka mau menambatkan hatinya untuk mengambil produk dari bank syariah yang cocok dengan seleranya. Jadi, edukasi dan dakwah ekonomi syariah ke masyarakat masih perlu diperkuat dan diperluas wilayah dakwahnya. Mungkinkah promosi dapat bersinergi dengan dakwah ekonomi syariah !!! Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq

Ditulis dalam Ekonomi Islam | Tag: Dakwah, ekonomi syariah, Marketing Dakwah, Promosi

MENCIPTAKAN MORALITAS PEMBANGUNAN

Manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Dalam bahasa teologi Mu’tazilah, kemampuan tersebut diimplikasikan dalam bentuk kehendak bebas yang dimiliki manusia. Kehendak bebas inilah yang membawa manusia pada posisi sebagai makhluk yang dapat bebas berekspresi dan berinovasi membangun satu hayalan menjadi satu hal yang nyata. Di sinilah letak kekuatan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya.

Keinginan yang begitu banyak memungkinkan manusia untuk mengaktifkan kehendak bebas. Pada tataran awal, kehendak bebas itu menempatkan dirinya pada posisi pelepasan terhadap nilai-nilai, baik itu dalam bentuk nilai moral ataupun nilai etika. Manusia pada tahap ini dapat berbuat dengan seenaknya sendiri, tanpa ada landasan moral. Pada akhirnya, dengan landasan berbuat seperti itu, terciptalah satu struktur masyarakat yang bebas moral. Di sini manusia dapat membuat nuklir untuk berperang, saling membunuh dan menumpahkan darah. Dan lain sebagainya dari berbagai aspek negatif yang ditimbulkan oleh kehendak bebas itu.

Pada kondisi seperti ini, manusia telah jauh melenceng dari tugas awal yang telah digariskan oleh Penciptanya, sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai tugas utama memakmurkan kehidupan di bumi dengan kebahagiaan dan ketenangan. Bukan sebaliknya, seperti yang pernah dikhawatirkan oleh malaikat tetkala berdialog dengan Allah Swt dalam memprediksikan makhluk yang diberi nama “manusia” untuk mengemban tugas berat di muka bumi sebagai penghancur, pembuat onar, penumpah darah dan seluruh aktifitas yang mensubordinasikan nilai-nilai moral.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya mengembalikan posisi moral pada diri manusia yang hilang tersebut, sehingga ia dapat menciptakan satu moralitas dalam kehidupannya, yang akhirnya dapat memulihkan kedudukannya betul-betul sebagai wakil Allah Swt di bumi, dan diakui oleh sesamanya ataupun makhluk lainnya sehingga ia tidak menjadi bahan cemoohan/ejekan makhluk-makhluk lainnya yang memang dasarnya meragukan kemampuan manusia sebagai “khalifah” Allah Swt di permukaan bumi.

Sebagai seorang filosof, Kant menawarkan obat sebagai penawarnya dalam bentuk “teori kehendak bebas transenden”. Lebih jauh Kant menjelaskan manusia memang harus mengoptimalkan kehendak bebas yang dimilikinya sebagai manifestasi dari kodrat manusia itu sendiri, dengan kekuatan akal yang dianugerahkan kepadanya dalam wujud aktifitas, ekspresi yang mempunyai dimensi transenden. Dimensi transenden inilah yang dalam bahasa sehari-hari dapat diartikan sebagai penguatan peran moral dalam diri manusia.

Dalam makalah ini akan diketengahkan kajian tentang menciptakan moralitas pembangun-an dalam studi pendekatan epistemologi ekonomi Islami

Moral dan Etika
Kata moral mempunyai makna yang sepadan dengan kata etika. Seperti dijelaskan Harold H. Titus term moral dan etika itu maknanya adalah saling berhubungan. Yang pertama berasal dari bahasa Latin moralis, sedang yang kedua berasal dari bahasa Yunani, ethos. Keduanya dapat diartikan dengan; adat-istiadat tata cara atau jalan hidup (way of life). Kedua kata ini biasanya digunakan dengan makna sinonim. Akan tetapi, dewasa ini penggunaan kedua kata tersebut menunjukkan pengkhususan: Moralitas digunakan untuk menunjukkan tingkah laku/perilaku tertentu “it self”. Sementara itu, etika dipakai untuk menunjukkan proses belajar mengenai tingkah laku/perilaku moral.

Sementara itu, K. Bertens merujuk makna bentuk jamak dari etika: ta etha mendefinisikan etika sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun demikian K. Bertens menambahkan bahwa etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima suatu masyarakat -seringkali tanpa disadari- menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika sebagai ilmu ini menurut K. Bertens sama artinya dengan filsafat moral.

Filsafat moral di sini diartikan dengan penilaian tentang sesuatu entag baik ataupun buruknya. Penilaian ini disebut moralitas. Moralitas berdasarkan konteks filsafat moral ini mengambil bentuk pengertian tentang baik dan buruk yang merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat di mana-mana dan segala zaman. Dengan kata lain, moralitas itu (kata K. Bertens) adalah fenomena manusiawi yang universal. Dalam konteks filsafat morat ini pula, K. Bertens memaknakan etika sebagai ilmu tentang moralitas, yakni tingkah laku moral.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kedua istilah di atas sebagai berikut: (a) etik: (i) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (ii) nilai mengenal baik dan buruk yang dianut suatu golongan atau masyarakat; (b) etika: (i) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (c) etiket: (i) carik kertas yang ditempatkan pada kemasan barang (dagangan) yang memuat keterangan mengenai barang tersebut. (ii) tata cara (adat sopan santun dan sebagainya) dalam masyarakat yang beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesamanya.
Moral: (i) (ajaran tentang) baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. (ii) kondisi mental yang membuat tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. (iii) Isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Moralitas: Segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat, sopan santun.

Todays English Dictionary mengambil makna sebagai berikut: Ethic (s):(i) Keyakinan moral mengenai benar dan salah; (ii) Muatan-muatan filosofis yang terdiri dari beberapa persoalan moral. Ethica: (i) Digunakan untuk membicarakan tentang sesuatu yang dikerjakan dengan cara mempertanyakan mengenai benar atau salahnya. (ii) Sikap untuk menerima prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar. Moral: Digunakan untuk menyata-kan sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang benar. Morality: Keyakinan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, sedangkan tindakan yang lain adalah salah.
Melihat definisi dari dua kamus di atas dapat disebutkan bahwa etika dan moral berkaitan dengan kelakuan, tindakan, dan perbuatan yang didasarkan pada norma, asas, dan nilai baik-buruk yang diyakini oleh suatu masyarakat tertentu. Perbuatan, tindakan, dan tingkah laku itu lalu berada dalam penilaian etis dan moral.

Dalam melakukan perbuatan, seseorang didasarkan pada keinginannya. Keinginannya ini adalah kebebasannya, apakah ia akan berlaku baik atau pun buruk. Oleh karena itu, dalam kamus di atas disebutkan bahwa etika berkaitan dengan hak dan kewajiban moral; moral berhubungan dengan ajaran baik-buruk, kondisi mental untuk tetap berbuat baik, dan keinginan hati nurani.

Etika dan moral berkaitan dengan hukum baik-buruk, dan oleh karena itu keduanya tidak netral. Istilah etika dan moral dalam konteks ini mempunyai makna hukum baik dari perbuatan. Maka orang yang berkelakuan buruk itu disebut tidak bermoral, atau telah keluar dari jalur yang telah digariskan oleh etika.

Pembangunan
Pemaknaan kata pembangunan tidak akan terlepas dari suatu proses; proses dalam wujud membangun dan berbuat untuk lebih meningkat dan maju, baik secara fisik ataupun non fisik. Dalam beberapa hal “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan (baca: pertumbuhan ekonomi) hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karenanya Myrdal (1968) misalnya mengartian pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change) terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Kondisi ini dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya tercatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembanguann yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).

Demikian beragamnya makna pembangunan yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan studi empiris yang mereka lakukan. Boleh dikata hampir setiap orang yang peduli dengan pembangunan sebagai tujuan yang diinginkan bagi negara dan penduduk di negara dunia ketiga. Namun begitu banyak interpretasi mengenai makna pembangunan, sehingga orang kadang bertanya-tanya apakah pembangunan hanya tidak lebih merupakan pandangan utopia setiap orang?
Sejarah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antri paradigma lain, seperti; wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/spasial, pembangunan masyarakat, dan pembangunan dalam bingkai ekonomi islami.

Kendati demikian, banyak yang memandang paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada tataran normatif. Artinya konstribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual (dassein; what to be) namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan (das sollen; what ought to be), Atau alternatifnya kita mau tidak mau harus mengkombinasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijaksanaan. Nampaknya tidak salah apabila dismpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multi dimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi, namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan.

Menciptakan Moralitas Pembangunan
Pada bagian ini, ada satu tuntutan penggabungan antara dua aspek yang berbeda; moralitas dan pembangunan. Jika kedua aspek tersebut menyatu dalam kerangka satu pemikiran, akan mempunyai arti adanya keterikatan aspek-aspek pembangunan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh moral. Dengan kata lain, pengayaan adanya pembangunan yang berwawasan moral adalah satu keharusan dan tidak dapat dipungkiri adanya. Sekarang yang jadi masalah adalah bagaimana kita, sebagai manusia yang berperan sebagai pelaku pembangunan dapat menciptakan satu moralitas dalam membangun ?
Beberapa konsep dapat diungkapkan dalam kajian kali ini. Seorang filosof, semisal Kant, mungkin menjawabnya dengan teori “kebebasan kehendak transenden”. Dalam hal ini, pelaku pembangunan mempunyai kesempatan yang luas untuk berkarya dan berinovasi dalam membangun sesuai dengan iradah (kehendak) yang dimiliki manusia. Walaupun begitu, dalam prakteknyadia harus selalu menyandarkan pada nilai-nilai transenden yang suci dan murni dalam bentuk moralitas. Sehingga dalam kesempatan akhir akan didapati satu kondisi yang terlepas dari berfikir pemisahan nilai-nilai moral dan aspek-aspek pembangunan.

“Obat penawar” yang diajukan oleh golongan filosof itu mungkin dapat digunakan, tapi kurang efektif. Hal ini dikarenakan konsep yang ditawarkan masih sangat subyektif-abstraktif. Teori “kebebasan kehendak transenden”, tidaklah dapat memberikan jaminan kejelasan terciptanya moraliats pembangunan. Pada tingkat pelaksanaanya dimungkinkan hanya dapat dilaksanakan oleh beberap gelintir manusia, yang memang dasarnya ia berpegang dengan nurani serta kesucian jiwa yang dimilikinya. Masalahnya yang lain, teori tersebut tidak mempunyai nilai hukum yang bersifat imperatif dan mengikat. Oleh karenanya, pada tataran berikutnya diperlukan adanya aturan hukum yang betul-betul mengikat pada semua pihak yang terlibat pada proses membangun untuk selalu mengacu pad nilai-nilai moral dalam pembangunan.

Dalam wacana ke-Indonesia-an, sikap nasionalisme dalam bentuk penundukka pada asas bangsa yaitu Pancasila, dapat memaksimalkan terwujudnya moralitas pembangunan. Tetapi masih ada kekuarnganya. Pancasila itu sendiri adalah Pancasila yang hanya sekedar mengandung nilai-nilai etika luhur dengan kekosongan daya “tuntutan hukum” bagi pelanggaran nilai-nilai moral. Secara aplikatif sangat diperlukan satu aturan hukum baku yang memuat juga adnya hukuman bagi penyelewengan moral.

Dari sinilah akan dihasilkan “konsensus bersama” untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dalam segenap aspek pembangunan. Kalau hal ini terwujud, paling tidak slogan yang menyatakan adanya pembangunan yang berwawasan humanisme telah termanifestasi-kan dalam pengkristalan nilai-nilai moral yang mewarnai pembangunan. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq

Oleh: AM Hasan Ali, MA

Ditulis dalam Umum | Tag: Add new tag, Ekonomi Islam, ekonomi syariah, Moralitas, Pancasila, Pembangunan

Rabu, 30 Juni 2010

LARANGAN TERHADAP TRANSAKSI YANG DIHARAMKAN SISTEM DAN PROSEDUR PEROLEHAN KEUNTUNGANNYA

Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga melarang transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang diharamkan karena sistem dan prosedur perolehan keuntungan tersebut adalah :
1. Tadlis ( ketidaktahuan satu pihak )
2. Gharar ( ketidaktahuan kedua pihak )
3. Ikhtikar ( rekayasa pasar dalam pasokan )
4. Ba'i najasy ( rekayasa pasar dalam permintaan )
5. Maysir ( judi )
6. Riba

KETERANGAN :
1. TADLIS
Adalah transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak. Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari 4 ( empat ) hal poko dalam jual beli berikut ini :

A, KUANTITAS
Salah satu pihak ( penjual ) misalnya mengurangi taksiran barang yang telah disepakati antara penjual dn pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya penguranga tersebut, dapat dipastikan pembeli tidak akan rela dalam jual beli yang telah dilakukan.

B, KUALITAS
Dalam hal kualitas, misalnya salah satupihak ( penjual ) mengetahui bahwa barang yang dijual memiliki cacat yang sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang sesuai dengan nilai barang yang sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja tidak memberitahu cacat barang tersebut agar dapat menjual dengan harga tinggi atau lebih tinggi dari sebenarnya. Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu, maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.

C. HARGA
Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketiaktahuan pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan hargha t5inggi. Sekiranya pembeli mengetahui bahwa harga tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedangkan orang lain tidak, , hal ini dapat mengakibatkan rusaknya kerelaan pembeli atas transaski yang sudah dilakukan.

D. WAKTU PENYERAHAN
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan menutupi kemampuan ia dalam menyerahkan barang yang sebenarnya lebih lambat dari yang ia janjikan. Contoh praktik tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah janji penjual bisa menyelesaikan proyek dalam jangka waktu i bulan, padahal penjual tersebut memahami bahwa pada waktu yang disepakati tersebut apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi ini juga bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam muamalah.Oleh karena sekiranya pembeli mengetahui hal demikian, maka ia tidak akan mau bertransaksi dengan penjual tersebut.

Ketiadaan informasi juga bisa terjadi pada penyedia jasa dalam transaksi sewa. Sebagai contoh, pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang akan diterima pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuaidengan harga pasar. Setelah pekerja menyelesikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan dan pekerja tidak memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.
Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang dilakukan oleh bank syqariah, terutama yang terkait dengan jual beli barang maupun sewa jasa antara bank syariah dengan nasabah dan pihak lain maupun antara bank syariah dengan para pegawainya, harus dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang atau sewa jasa harus terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang disepakati kedua belah pihak .
2.GHARAR
Transaksi Gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak, sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak yang bertransaksi jual beli . Gharar dapat terjadi pada salah satu dari empat ( 4 ) hal pokok dalam jual beli berikut ini :

A.KUANTITAS
Gharar dalam kuantitas, misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika pohon atau tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini , pada saat jual beli, baik penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuantitas hasil panen yang diperjualbelikan. Nilai jual beli panen bisa lebih tinggi dan bisa lebih rendah dibandin g nilai yang diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari nilai uang yang diberikan pembeli, maka pembeli akan menjadi pihak yang diuntungkan, sedangkan penjual tidak dapat menikmati keberhasilan panennya. Sebaliknya, jika hasil panen lebih rendah dibanding nilai transaksi saat pembelian, pembeli akan menjadi pihak yang dirugikan.

B. KUALITAS
Gharar dalam kualitas , mislnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut induknya. Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual , tidak mengetahui bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya sapi yang dilahirkan berkualitas baik , maka pembeli akan diuntungkan, dan sebaliknya akan menjadi pihak yang dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya aadalah sapi dengan kualitas buruk.

C.HARGA
Gharar dalam harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan kesepakatan harga berikut,”Sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah satu tahun, maka marginnya adalah 20 %, tapi seandainya lunas antara satu hingga dua tahun, maka marginnya otomatis menjadi 40 % “. Oleh karena kedua belah pihak tidak tahu apakah pembayaran akan dilunasi dalam satu tahun atau lebih, dalam hal ini harga barang barang mengalami ketidakpastian, apakah harga dengan margin 20 % maupun harga dengan margin 40 %.

D.WAKTU PENYERAHAN
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjualan mobil yang sedang hilang dicuri dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang hilang dilarikan pencuri.

3. BA’I IKHTIKAR
Merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun . Dengan demikian, penjual akan memperoleh keuntungan yang besar karena dapat menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi disbanding harga sebelum kelangkaan terjadi. Pelarangan tindakan ini, selain memiliki dalil naqli ( dalil yang sudah ditulis dalam Al Qur’an), juga didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan .

4.BA’I NAJASY
Adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Upaya menciptakan permintaan palsu antara lain dengan

a.Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli barang

b.Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek psikologis orang lain untuk membeli dan bersaing dalam harga .

c.melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentiment pasar. Bila harga sudah naik sampai level yang dinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.

5.MAYSIR
Ulama mendefenisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan di mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian. Cpntoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah aqdalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsure judi. Conth penerapan lain adalah larangan pada bank untuk untuk menjadikan uang sebagai instrument spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.

6.R I B A
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh atau membesar. Defenisi riba yang banyak digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah defenisi yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi sebagai berikut :
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan bersinggungan langsung dengan praktik perbankan konvensional. Pada akhir tahun 2003 MUI secara resmi memfatwakan haramnya bunga bank konvensional. Alasan riba diharamkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah agar orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinajanm –meminjam dan sejenisnya , padahal Qardh bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.

Riba dalam transaksi utang piutang terbagi atas 2 (dua) kategori yaitu :
-1. Riba Qardh adalah kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang

-2. Riba Jahiliyyah adalah riba yang timbul karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi 2 ( dua ) yaitu :
-1. Riba Fadhl yaitu riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.

-2. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya

Senin, 21 Juni 2010

LARANGAN TERHADAP TRANSAKSI YANG MENGANDUNG BARANG ATAU JASA YANG DIHARAMKAN

Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jassa yang diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah, yaitu keharusan menghindar dari kemudaratan. Al Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu barang atau jasa , menyatakan secara ekslisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk dimakan, diminum maupun dipakai oleh seorang muslim. Diantaranya adalah meminum khamar (minuman keras) dan menggunakan bangkai, atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al Qur'an dan Sunah nabi Muhammad SAW juga secara ekslisit melarang dilakukannya berbagai jenis atau tindakan antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain dan sebagainga.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang atau jasa yang secara eksplisit dilarang Al Qur'an dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama dengan zat yang diharamkan dalam Al Qur'an dan Sunah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oelh Majelis Ulama Indonesia. Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk selalu memastikan kehalalan jenis usaha yang di8bantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang diharamkan.

Kamis, 17 Juni 2010

MEKANISME OPERSIONAL BANK SYARIAH

Secara konsep, bank Syariah menghindari praktek transaksi berbasis bunga. Lantas bagaimana mekanisme operasional bank yang sesuai syariah? Perwujudan sistem syariah do dalam perbankan tanpa bunga adalah dengan menerapkan sistem bagi hasil. Yakni suatu pola transaksi yang tidak memastikan pemberian hasil ( keuntungan/ imbaloan ).kepada para pihak yang bertransaksi dengan bank. Melalui mekanisme bagi hasil terjalin hubungan kemitraan antara naasabah penyimpan dama, bank dan nasabah pembiayaan.

Bank sebagai lembaga keuqangan akan menghimpun dana dari masyarakat. Nasabah pemilik dana akan diperlakukan sebagai investor di bank syariah. Dana mereka akan dikelola oleh bank syariah,dan pemilik dana berhak atas keuntungan yang diperoleh bank. Imbalan yang diterima pemilik dana bukan merupakan prosentase tertentu seperti halnya bunga , namun berupa nisbah , yaitu angka proporsi bani hasil antara naabah dan bank. Bila nasabah dana mendapatkan nisbah 45%, maka bank mendapatkan 55%. Dengan demikian setiap bulan bank akan memberikan keuntungan berupa bagi hasil sebesar 45% dari keuntungan bulan tersebut kepada para penabung. Besarnya nisbah yang dibayarkan berbedea-beda tergantung pada jenis simpanan dan jangka waktunya.

Lalu dari mana Bank mendapatkan kenutungan ? Dana yang dihimpun oleh bank syariah akan disalurkan ke masyarakat kembali dalam bentuk pembiayaan. Pola transaksi pembiayaan tidak berdasarkan pembebanan bunga seperti bank konvensiona , tetapi berdasarkan akad-akad yang lazim dipraktekkan dalam pembiayaan dibank syariah . Dari transaksi pembiayaan yang diberikan bank mendapatkan pendapatan dalam bentu :
* Keuntungan berupa margin dari pembiyaaan jual belu
* Keuntungan bagi hasil dari pembiayaan model kerja dengan bagi hasil
* Pendapatan sewa dari pembiayaan sewa.

Untuk lebih jelasnya bagaimana mekanisme bagi hasil dipraktekkan sebagai berikut
1.Nasbah dana menyimpan dananya di bank syariah dalam bentuk tabungan, deposito dan giro . Mereka adalah investor yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank syariah.
Masing-masing jenis penempatan dana mendapatkan bagi hasil yang berbeda-beda . Tabungan
mendapatkan nisbah 45%, deposito 55% dan bonus giro 2%. Misalkan dalam contoh disini
dana pihak ke tiga yang dihimpun oleh bak adalah sebesar Rp, 80.000.000.000,00

2.Dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank akan dislurkan kembali ke masyarakat dalam
bentuk pembiayaan dan diasumsikan tersalurkan seluruhnya sebesar Rp. 80.000.000.000,00
Pembiayaan yang diberikan terbagi dalam bentuk pembiayaan jual beli Rp.45.000.000.000,00
pembiayaan bagi hasil Rp. 25.000.000.000 dan pembiayaan sewa Rp.10.000.000.000,00

3.Atas pembiayaan yang diterimanya, setiap bulan nasabah pembiayaan memberikan keuntungan
kepada bank. Dalam keterangan diatas, bank mendapatkan pendapatan dari margin jual beli
sebesar Rp.3.000.000.000,00, kenutungan bagi hasil sebesar Rp. 2.000.000.000,00 dan
pendapatan sewa Rp.1.000.000.000,00. Total pendapatan bank dari pembiayaan dalam bulan
terbut sebesar Rp. 6.000.000.000

4.Bank berkewajiban memberikan bagi hasil dari pendapatan yang diperolehnya kepad nasabah
dana sebagai investor. Masing-masing jenis penempatan dana mendapatkan bagi hasil yang
berbeda-beda yang besarnya di hitung berdasarkan besarnya nisbah dan jumlah penempatan
setiap jenis dana .

Dalam keterangan diatas diketahui :
- Jumlah penempatan dna tabungan sebesar Rp.30.000.000.000,00
- Total dana pihak ke tiga sebesar Rp. 80.000.000.000,00
- Nisbah tabungan 45%
- Pendapatan bank dari pembiayaana sebesar Rp 6.000.000.000,00
Sehingga total penabung di bank syariah akan mendapatkan bagi hasil sebagai bagian dari kenutungan bank yang dibagi adalah sebesar :
30 / 80 X 45% X Rp.6.000.000.000,00 = Rp. 1.012.000.000,00

Pola penghitungan yang sama berlaku juga untuk menghitung bagi hasil yang diterima nasabah pemilik deposito dan rekening giro. Dengan demikian total pendapatan yang dibagikan kepada nasabah dana aadalah sebesar Rp.2.667.000.000,00 sedangkan sisanya sebesar Rp.3.323.000.000,00 menjadi pendapatan bersih bagi bank

Dari mekanisme tersebut di atas dapat diketahui bahwa :
* Besar kecilnya pendapatan bank ditentukan oleh besar kecilnya pendapatan nasabah yang
di biayai. Salah satu akad pembiayaan syariah adalah dengan mekanisme pembiayaan bagio
hasil, di mana keuntungan yang dibagikan kepada bank mengikuti pendapatan usaha
nasabah, Bila pendapatan usaha nasabah meningkat maka pendapatan bank akan bertambah.
Sebaliknya bila nasabah mengalami penurunan usaha, maka bagi hasil yang diterima bank
menjadi kecil.

* Semakin besar pendapatan yang diterima bank, maka nasabah dana juga akan menerima bagi hasil yang besar, sebaliknya bila bank mengalami penurunan pendapatan , maka bagi hasil yang di berikan kepada nasabah dana juga ikut menurun.

* Dalam upayanya memberikan bagi hasil yang menarik dan bersaing bagi para penyimpan dana, maka bank syariah akan berusaha untuk meningkatkan pendapatannya. Bagi hasil yang tinggi akan menarik minat masyarakat untuk menyimpan dananya di bank syariah. Artinya, bank syariah memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk meningkatkan pembiayaan. Pembiayaan yang meningkat berpaluang u7ntuk menciptakan pendapatan yang meningkat pula. Begitu seterusnya, sehingga tercipta sinergi dan keterkaitan anatara nasabah penyimpan dana, bank dan nasabah pembiayaan

Minggu, 13 Juni 2010

PERSAMAAN DASAR AKUNTANSI

PERSAMAAN DASAR AKUNTANSI SYARIAH

Sebagaimana dijelaskan bahwa Bank Syariah memmpunyai karakteristik tersendiri, dimana hal ini juga membawa implikasi dalam akuntansi Bak Syariah itu sendiri.
Dalam akuntansi umum persamaan akuntansi pada unsur neraca adalah sebagai berikut :


Aktiva = Kewajiban + Modal


Karena karakteristiknya akuntansi Bank Syariah mempunyai persamaan akuntansi yang berbeda dengan persamaan akuntansi yang berbeda dengan persamaan akuntansi umum atau akuntansi bank konvensional, persamaan akuntansi pada unsur neraca bank syariah adalah :


Aktiva = Kewajiban + Investasi Tidak Terikat + Modal


Unsur dalam laporan laba rugi akuntansi umum diperoleh persamaan akuntansi atas laporan laba rugi sebagai berikut :


Laba/Rugi = Pendapatan - Beban



Laporan Keuangan Bank Syariah

Oleh karena karakteristik yang berbeda bank syariah dengan bank non syariah, atau akuntansi umum, maka membawa konsekwensi pelaporan yang harus diterbitkan, sehingga laporan keuangan bank syariah meliputi :

1. Laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan bank syariah sebagai investor beserta hak dan kewajibannya, yang dilaporkan dalam
(i) laporan posisi keuangan
(ii) laporan laba rugi
(iii) laporan arus kas
(iv) laporan perubahan ekuitas

2. Laporan keuangan yang mencerminkan perubahan dalam investasi terikat yang dikelola oleh bank syariah untuk kemanfaatan pihak-pihak lain berdasarkan akad mudharabah atau agen investasi yang dilaporkan dalam laporan perubahan dana investasi terikat; dan

3. Laporan keuangan yang mencerminkan peran bank syariah sebagai pemegang amanah dana kegiatan sosial yang dikelola secara terpisah, yang dilaporkan dalam :
(i) laporan posisi keuangan
(ii) laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infaq dan shadaqah
(iii) laporan sumber dan penggunaan dana al-qardhul hasan


Apabila diperbandikan dengan laporan keuangan yang harus dibuat dalam bank konvensional, yang diatur dalam PSAK 31, adalah sebagai berikut :



Bank Konvensional (PSAK 31)

Bank Syariah (PSAK 59)
1. Laporan posisi keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan arus kas
5. Catatan laporan keuangan 1. Laporan posisi keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Laporan Keuangan
6. Laporan Investasi Terikat
7. Laporan sumber dan penggunaan dana Al-qardhul hasan
8. Laporan sumber dan penggunaan dana ZIS



LAPORAN KEUANGAN AKUNTANSI SYARIAH

Neraca

Unsur-unsur neraca bank syariah meliputi aktiva,kewajiban investasi tidak terikat, dan ekuitas. Berdasarkan unsur-unsur neraca tersebut dibuat persamaan akuntansi untuk neraca menjadi sebagai berikut :


AKTIVA = KEWAJIBAN + INVESTASI TIDAK TERIKAT + EKUITAS


Yang membedakan dengan neraca jenis organisasi lain adalah terletak pada “investasi tidak terikat”. Investasi tidak terikat bukan merupakan kewajiban dan juga bukan ekuitas. Investasi tidak terikat adalah dana pihak ketiga yang dititipkan/diserahkan kepada bank untuk dikelola tanpa ikatan dari penitip dana atau dikelola secara bebas sesuai syariah. Penyajian aktiva pada neraca atau pengungkapan pada catatan atas laporan keuangan atas aktiva yang dibiayai oleh bank sendiri dan aktiva yang dibiayai oleh bank bersama pemilik dana investasi tidak terikat dilakukan secara terpisah.





BANK SYARIAH
NERACA
PER 31 DESEMBER 20...

AKTIVA
Kas Rp. xx
Penempatan pada Bank Indonesia Rp. xx
Giro pada bank lain Rp. xx
Penempatan pada bank lain Rp. xx
Efek-efek Rp. xx
Piutang Rp. xx
Piutang murabahan Rp. xx
Piutang salam Rp. xx
Piutang istishna Rp. xx
Piutang pendapatan ijarah Rp. xx
Pembiayaan mudharabah Rp. xx
Pembiayaan musyarakah Rp. xx
Persediaan (aktiva yang dibeli untuk dijual kepada klien) Rp. xx
Aktiva yang diperoleh untuk ijarah Rp. xx
Aktiva istishna dalam penyelesaian (setelah dikurangi termin istishna) Rp. xx
Penyertaan Rp. xx
Investasi lain Rp. xx
Aktiva tetap Rp. xx
Akumulasi penyusutan Rp. xx
Aktiva lain-lain Rp. xx
TOTAL AKTIVA Rp. xx

KEWAJIBAN
Kewajiban segera Rp. xx
Simpanan : Rp. xx
Giro wadiah Rp. xx
Tabungan wadiah Rp. xx
Simpanan bank lain : Rp. xx
Giro wadiah Rp. xx
Tabungan wadiah Rp. xx
Kewajiban lain : Rp. xx
Utang salam Rp. xx
Utang istishna Rp. xx
Kewajiban pada bank lain Rp. xx
Pembiayaan yang diterima Rp. xx
Keuntungan yang sudah diuntungkan tetapi belum dibagikan Rp. xx
Utang pajak Rp. xx
Utang lainnya Rp. xx
Pinjaman subordinasi Rp. xx
TOTAL KEWAJIBAN Rp. xx

INVESTASI TIDAK TERIKAT
Investasi tidak terikat dari bukan bank : Rp. xx
Tabungan mudharabah Rp. xx
Deposito mudharabah Rp. xx
Investasi tidak terikat dari bank : Rp. xx
Rabungan mudharabah Rp. xx
Deposito mudharabah Rp. xx
TOTAL INVESTASI TIDAK TERIKAT Rp. xx

EKUITAS
Modal disetor Rp. xx
Tambahan modal disetor Rp. xx
Saldo laba (rugi) Rp. xx
TOTAL EKUITAS Rp. xx
TOTAL KEWAJIBAN INVESTASI TIDAK TERIKAT DAN EKUITAS Rp. xx




Laporan Laba Rugi
Dengan memperhatikan ketentuan dalam PSAK lainnya, PSAK No. 59 (2002) mengatur penyajian laporan laba rugi sebagai berikut ini.
Penyajian dalam laporan laba rugi mencakup, tetapi tidak terbatas pada pos-pos pendapatan dan beban yang dapat disusun sebagai berikut :

BANK SYARIAH
LAPORAN RUGI LABA
PERIODE 1 JANUARI – 31 DESEMBER 20...
I. PENDAPATAN OPERASI
1) Pendapatan operasi utama
Pendapatan dari jual beli Rp. xx
Pendapatan marjin murabahah Rp. xx
Pendapatan bersih salam paralel Rp. xx
Pendapatan bersih istishna paralel Rp. xx
Pendapatan dari sewa : Rp. xx
Pendapatan bersih ijarah Rp. xx
Pendapatan dari bagi hasil : Rp. xx
Pendapatan bagi hasil mudharabah Rp. xx
Pendapatan bagi hasil musyawarah Rp. xx
Pendapatan operasi utama lainnya Rp. xx
Total pendapatan operasi utama Rp. xx
2) hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat Rp. xx
3) Pendapatan operasi lainnya Rp. xx
Total Pendapatan Operasi Rp. xx
II. BEBAN OPERASI Rp. xx (-)
Total laba operasi bersih Rp. xx
III. PENDAPATAN DAN BEBAN LAIN-LAIN Rp. xx
Pendapatan non-operasi Rp. xx
Beban non operasi Rp. xx
Laba sebelum zakat dan pajak Rp. xx
IV. ZAKAT Rp. xx
Laba sebelum pajak Rp. xx
V. PAJAK PENGHASILAN Rp. xx (-)
LABA BERSIH SETELAH PAJAK Rp. xx

Rabu, 02 Juni 2010

JENIS PEMBIAYAAN DI BANK SYARIAH

Pembiayan di bank syariah terbagi atas beberapa jenis berdasarkan bentuk akadnya. Secara umum aqda 3 jenis dasar transaksi pembiayaan di bank syariah yaitu :
1. Pembiayaan Jual-Beli, contohnya adalah murabahah, salam, istishna
2. Pembiayaan Sewa Menyewa, contohnya adalah ijarah dan ijarah muntahiya
bittamilk
3. Pembiayaan Bagi hasil : musyarakah dan mudharabah

PEMBIAYAAN JUAL BELI
Kata kunci pembiayaan jual-beli adalah adanya barang yang diperjual-belikan. Selama pembiayaan yang diajukan bertujuan pembelian suatu barang, maka bank akan menggunakan akad jual-beli.
Dalam pembiayaan jual-beli, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah bertindak sebagai pembeli. Pada prakteknya meskipun bank bertindak sebagai penjual namun barang yang dijual tidak selalu milik bank. Bank mengadakannya melalui pihak lain yang memiliki barang dan bank membayarnya dengan tunai . Selanjutnya bank menjualnya kepada nasabah dan dibayar secara angsuran oleh nasabah. Penyerahan barang bisa saja dilakukan secara langsung dari pemilik barang kepada nasabah.

Adapun jenis pembiayaan jual beli yang lazim dilakukan oleh bank syariah adalah :
1. MURABAHAH
Yaitu pembiayaan jual beli dimana penyerahan barang dilakukan di awal
akad.
Bank menetapkan harga jual barang yaaitu harga pokok perolehan
barang ditambah sejumlah
margin/ keuntungan bank. Harga jual yang telah
disepakati di awal akad tidak boleh berubah
selama jangka waktu
pembiayaan .


CONTOH APLIKASI :
a. Pembiayaan konsumtif misalnya : Pembiayaan Pemilikan Rumah,
Pembiayaan
pemilikan kendaraan, Pembiayaan pemikan perabotan rumah
tangga.


b. Pembiayaan produktif misalnya : Pembiayaan investasi mesin dan peralatan,
pembiayaan
investasi gedung dan bangunan untuk pabrik/ kantor/sekolah,
pembiayaan persediaan
barang dagangan, pembiayaan bahan baku
produksi.


2. S A L A M
Yaitu pembiayaan jual-beli di mana barang yang diperjual-belikan belum ada. Pembayaran barang dilakukan di depaqn oleh bank namun penyerahan barang dilakukan secara tangguh karena memerlukan proses pengadaannya. Setelah barang diserahkankepada bank maka bank akan menjualnya kepada pembeli yang telah nenesan sebelumnya. Hal ini disebut salam paralel karena melibatkan pemesan dan bank, serta bank dan pelaksana yang bertanggung jawab atas realisasipesanan tersebut.

CONTOH APLIKASI
Biasa dipraktekkan bagi pembiayaan produk pertanian. Sebagai contoh seorang pedagang besar sembako melakukan pemesanan 1000 ton beras yang tipe, kualitas, kuantitas dan harganya sudah ditentukan kepada seorang petani. Karena petani tersebut tidak memiliki modal kerja , maka bank akan membiayai modal kerja petani. Petani menerima dana di awal akad dari bank yang akan digunakan untuk kebutuhan pengadaan sarana produksi maupun kebutuhan proses penanaman hingga panen . Setelah panen, hasil beras sesuai spesifikasi yang diminta akan diserahkan kepada bank. Selanjutnya bank akan menjual kepada pemesannya yaitu si pedagang besar dan bank akan menerima pembayaran sebagai sumber pelunasan pembayaran si petani.

3. ISTISHNA
Yaitu pembiayaan jual beli yang polanya saqma dengan pembiayaan salam, namun berbeda dalam pola pembayarannya . Bila salam pembayarannya dilakukan di awal akad, maka dalam istishna dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.

CONTOH APLIKASI :
Biasa dipraktikkan dalam pembiayaan manufaktur atau pembiayaan konstruksi

PEMBIAYAAN SEWA MENYEWA

Pengertian pemberian sewa menyewa dapat didefenisikan sebagai transaksi terhadap penggunaan manfaat suatu barang dan jasa dengan pemberian imbalan,. Apabila obyek pemanfaatannya berupa barang, maka imbalannya disebut dengan sewa , sedangkan bila obyeknya berupa tenaga kerja maka imbalannya disebut upah. Ada 2 ( dua ) jenis ijarah yaitu
1.Ijarah Murni, yaitu suatu transaksi sewa-menyewa obyek tanpa adanya perpindahan kepemilikan yaitu obyek tetap dimiliki oleh si pemilik.
2.Ijarah Muntahiya Bitamilik, yaitu suatu transaksi sewa menyewa di mana terdapat pilihan bagi si penyewa untuk memiliki barang yang disewa di akhir masa sewa melalui mekanisme sale and lease back

PEMBIAYAAN BAGI HASIL
Berdasarkan komposisi share modal bank dalam usaha nasabah, terdapat ( dua ) pola pembayaran, yaitu :
1. Mudharabah yaitu bila bank membiayai 100 % kebutuhan dana untuk usaha. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pelaksana atas usaha tersebut.

2. Musyarakah, yaitu bila komposisi pembiayaan bank kurang dari 100 %. Artinya selain bertindak sebagai pelaksana usaha, nasabah juga memiliki dana sendiri dalam usaha yang dibiayai bank. Komposisi permodalan antara bank dan nasabah dapat 70 %, 30 % atau 60 % , 40 % atau sesuai kesepakatan. Perbedaan komposisi akan menentukan perbedaan nisbah bagi hasil. Semakin besar share dana yang diberikan, maka semakin besar nisbah bagi hasil yang diterima,

Jumat, 15 Januari 2010

PROSES AKUNTANSI

Aktivitas bank dimulai dari kebutuhan dana yang dapat dipenuhi dari pemilik dalam bentuk modal dan pihak ketiga dalam bentuk simpanan, pinjaman dan kebutuhan tenaga kerja yang akan digunakan dalam mengelola dana atau modal. Pengelolaan modal ini akan menghasilkan barang dan jasa yang akan dijual kepada konsumen dengan harga tertentu dengan mempertimbangkan biaya dan laba yang akan dicapai. Hasil penjualan barang dan jasa akan didistribusikan baik untuk operasi perusahaan kembali atau dibagikan atas laba kepada pemilik dan nasabah atau pengembalian uang kepada kreditur
Proses akuntansi terdiri dari pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran, pelaporan dan penganalisaan. untuk proses pencatatan, penggolongan ini dilakukan secara rutin setiap hari ada transaksi. Sedangkan kegiatan pengikhtisaran, pelaporan, dan penganalisaan dilakukan pada periode tertentu misalnya bulanan, tiga bulanan, atau tahunan sesuai dengan kebutuhan pemakai laporan
Transaksi adalah kejadian perusahaan yang relevan untuk pengambilan keputusan dan dapat diukur dengan satuan pengukuran tertentu misalnya rupiah, dollar dll.
Setelah aktivitas perusahaan diidentifikasikan sebagai transaksi selanjutnya dilakukan pencatatan, selain dicatat kemudian transaksi tersebut di kelompokkan kedalam perkiraan yang sejenis.. Pengelompokkan ini akan mempermudah dalam cara penyajian , karena banyaknya transaksi yang dapat di ringkas menjadi beberapa kelompok perkiraan.
Setelah pencatatan dan pengelompokkan tahap berikutnya adalah menyajikan informasi yang telah diikhtisarkan dalam bentuk laporan yang dibutuhkan oleh pemakai laporan keuangan, misalnya pemerintah membutuhkan laporan untuk perpajakan, kreditur unutk mengetahui apakah nasabah nya sanggup membayar kewajibannya, dan sbagainya.
Setelah dibuat laporan kemudian dianalisis dan di interpretasi agar laporan tersebut berguna bagi pengambilan keputusan

Jumat, 08 Januari 2010

Tujuan akuntansi

Secara umum tujuan akuntansi yaitu memberikan informasi yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan bagi para pemakai informasi akuntansi diantaranya adalah .. investor, masyarakat, pemerintah, kreditur, manajer. Akuntansi bank Syariah disediakan untuk pihak-pihak yang berhubungan dengan perbankan syariah. Dalam konteks muamalah maka pihak-pihak yang berhubungan dengan bank Syariah tersebut memiliki tujuan untuk mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat dengan mengharapkan ridho Allah SWT

Kamis, 07 Januari 2010

AKUNTANSI SYARIAH



Pada tanggal 8 januari 2010 saya sengaja membuat blog ini dengan tujuan lebih memudahkan komunikasi dengan teman yang seprofesi dengan saya dalam bidang akuntansi syariah.